Perbankan RI Bernapas Lega Setelah Pemangkasan Suku Bunga, Namun Risiko Kredit Ritel Masih Membayangi
Monday, November 03, 2025       10:08 WIB
  • Pemangkasan suku bunga dan injeksi likuiditas bantu perbankan Indonesia bernapas lega, meski risiko kredit ritel masih tinggi.
  • Bank milik negara menghadapi tekanan laba akibat provisi dan biaya operasional yang meningkat.
  • Bank swasta dan syariah tampil lebih solid berkat efisiensi, diversifikasi pendapatan, dan biaya dana yang rendah.

Ipotnews - Setelah lima kali pemangkasan suku bunga dan dorongan likuiditas dari pemerintah, bank-bank besar Indonesia mulai bernapas lega. Namun, di balik itu masih tersimpan keretakan dalam penyaluran kredit ritel dan kualitas aset.
Berdasarkan kinerja sembilan bulan pertama tahun ini, sektor perbankan menghadapi lingkungan operasi yang menantang, ditandai dengan meningkatnya risiko kredit, permintaan ritel yang lesu, dan profitabilitas yang tidak merata. Bank-bank milik negara tertekan oleh meningkatnya provisi, sementara bank swasta bertahan berkat pendapatan berbasis biaya (fee income) yang kuat dan biaya pendanaan yang lebih murah.
Menurut Jayden Vantarakis, Kepala Riset Ekuitas ASEAN di Macquarie Capital, bank-bank Indonesia diuntungkan oleh penurunan biaya dana seiring mulai berpengaruhnya pelonggaran moneter, yang dapat meningkatkan margin bunga bersih (NIM). Namun, ia memperingatkan bahwa kenaikan kredit macet di segmen konsumer, terutama pada kredit pemilikan rumah, masih menjadi risiko utama. "Kami lebih menyukai bank dengan eksposur besar pada korporasi besar, di mana imbal hasil disesuaikan risiko lebih baik," ujarnya.
Sektor perbankan masih berada di bawah tekanan akibat ketidakpastian global dan kebijakan, serta melemahnya konsumsi rumah tangga yang membebani permintaan kredit dan kualitas aset.
Kepala riset Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia ( LPPI ), Trioksa Siahaan, menambahkan bahwa bank juga menghadapi rasio biaya operasional yang tinggi, biaya dana yang masih mahal demi menjaga likuiditas, serta meningkatnya risiko penipuan internal dan eksternal. Ia juga menyoroti perubahan kebijakan pemerintah yang dapat memaksa bank menyesuaikan strategi bisnis mereka.
Bank Milik Negara di Bawah Tekanan
Bank-bank pelat merah melaporkan penurunan laba meski pertumbuhan kredit membaik, akibat kenaikan provisi dan biaya operasional.
Bank Mandiri () mencatat penurunan laba bersih 10% menjadi Rp37,7 triliun pada Januari-September, seiring biaya operasional naik 25% dan meningkatnya provisi kerugian kredit. Namun, analis CreditSights Lim Ze Hao dan Pramod Shenoi menilai eksposur besar Mandiri pada korporasi besar membantu menahan pelemahan di segmen ritel.
Injeksi likuiditas pemerintah sebesar Rp55 triliun pada September turut memacu pertumbuhan kredit menjadi 11% secara tahunan, setelah beberapa kuartal melambat.
Bank Negara Indonesia/BNI () menghadapi tekanan serupa. Laba bersih turun 7,3% menjadi Rp15,1 triliun, dengan NIM menyempit ke 3,8% karena turunnya imbal hasil kredit dan persaingan ketat. Meskipun kondisi likuiditas membaik di akhir kuartal ketiga, kualitas aset di segmen ritel BNI--terutama pada kredit perumahan dan kartu kredit--terus memburuk.
CreditSights mencatat bahwa kualitas aset korporasi tetap stabil, tetapi kelemahan ekonomi lebih luas menekan rumah tangga berpendapatan rendah, pekerja UMKM , dan wiraswasta. Para analis memperkirakan margin BNI akan pulih di kuartal IV ketika dampak suku bunga deposito yang lebih rendah dan dukungan likuiditas pemerintah sepenuhnya terasa.
Bank Rakyat Indonesia/BRI (), sebagai pemimpin di segmen mikro, membukukan penurunan laba 10% menjadi Rp41 triliun akibat provisi yang lebih tinggi dan ekspansi kredit yang melambat. Namun, BRI masih mempertahankan NIM tertinggi di industri sebesar 7,7%, berkat kekuatan bisnis mikrofinansinya.
Sementara itu, Bank Tabungan Negara/BTN () mencatat kenaikan laba 11% menjadi Rp2,3 triliun, didorong oleh peningkatan pendapatan dari KPR non-subsidi dan kondisi likuiditas yang membaik.
BTN juga berpotensi diuntungkan dari rencana Presiden Prabowo Subianto untuk mempercepat pembangunan tiga juta unit rumah, yang dapat mendorong permintaan KPR. Mengantisipasi risiko kualitas kredit, BTN meningkatkan provisi kerugian pinjaman hingga 230% menjadi Rp4,5 triliun untuk memperkuat cadangan.
Bank Swasta dan Syariah Tampil Lebih Kuat
Berbeda dengan bank milik negara, Bank Central Asia/BCA () mencatat kinerja solid dengan kenaikan laba bersih 6% menjadi Rp43,4 triliun, didorong oleh kenaikan pendapatan non-bunga 13% dan NIM yang stabil.
"BCA tetap menjadi salah satu bank paling efisien dan berkualitas tinggi di kawasan, dengan likuiditas yang sangat kuat," kata Miftahul Khaer, analis riset di Kiwoom Sekuritas.
Sektor perbankan syariah juga menunjukkan performa baik pada kuartal ketiga, dipimpin oleh Bank Syariah Indonesia (BSI). Laba bersih BSI naik 17% menjadi Rp5,4 triliun, ditopang oleh kenaikan pembiayaan 16% serta pertumbuhan kuat di segmen gadai emas dan konsumer.
Tahun ini, BSI menjadi bank bullion berlisensi pertama di Indonesia dan mencatat lonjakan transaksi emas seiring kenaikan harga emas global. Analis Macquarie menilai kinerja BSI positif, berkat diversifikasi bisnis ke segmen perdagangan dan korporasi, yang membantu mengurangi risiko konsentrasi. Bank ini juga diuntungkan dari meningkatnya permintaan keuangan syariah dan dukungan pemerintah terhadap industri halal.
Likuiditas Longgar, Tapi Risiko Masih Mengintai
Pelonggaran tekanan pendanaan di sektor perbankan memberi alasan bagi analis untuk bersikap optimis secara hati-hati menjelang 2026.
Pertumbuhan kredit nasional mencapai 7,7% secara tahunan pada September, laju tercepat sejak Juni, didorong oleh likuiditas yang membaik dan stimulus fiskal pemerintah.
Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan kredit 2025 akan berada di kisaran bawah target 8-11%, sebelum meningkat tahun depan seiring transmisi penurunan suku bunga yang lebih luas.
Namun, tantangan masih membayangi. Para analis menyoroti permintaan rumah tangga yang rapuh, pemulihan kredit UMKM yang belum merata, serta risiko tata kelola menyusul alih kepemilikan bank-bank BUMN ke bawah entitas kekayaan negara baru, Danantara.
Menurut Edi Chandren, analis investasi di Stockbit Sekuritas, sebagian besar bank besar--kecuali BCA--diperkirakan mencatat penurunan laba tahun ini sebelum mulai pulih pada 2026.
"Hasil kuartal ketiga 2025 menjadi titik terendah, dan kami memperkirakan pemulihan bertahap akan dimulai pada kuartal keempat," ujarnya.(businesstimes.com.sg)

Sumber : admin
An error occurred.