Kejatuhan Minyak Berjangka Berlanjut, Terbebani Kekhawatiran Permintaan China
Tuesday, July 16, 2024       14:10 WIB

Ipotnews - Harga minyak tergelincir, Selasa, di tengah kekhawatiran tentang perlambatan ekonomi China yang menghambat permintaan, meski konsensus berkembang bahwa Federal Reserve akan mulai memotong suku bunga secepatnya September, membatasi penurunan.
Minyak mentah berjangka Brent, patokan internasional, turun 58 sen, atau 0,68%, menjadi USD84,27 per barel pada pukul 13.52 WIB, demikian laporan  Reuters  dan  Bloomberg,  di Singapura, Selasa (16/7).
Sementara itu, patokan Amerika Serikat, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI), melorot 61 sen, atau 0,74%, menjadi USD81,30 per barel.
Analis IG, Yeap Jun Rong, mengatakan melemahnya data ekonomi China "menimbulkan keraguan apakah pelaku pasar terlalu optimistis terhadap prospek permintaan minyak negara tersebut".
Data resmi menunjukkan ekonomi terbesar kedua di dunia itu tumbuh 4,7% sepanjang April-Juni, ekspansi paling lambat sejak kuartal I-2023 dan meleset dari perkiraan 5,1% dalam jajak pendapat  Reuters. 
Pertumbuhan ini juga melambat dibandingkan ekspansi pada kuartal sebelumnya, yakni 5,3%, karena terhambat oleh penurunan sektor properti yang berkepanjangan dan ketidakamanan lapangan kerja.
"Angka PDB dan penjualan ritel kuartal kedua cukup mengejutkan karena turun dengan margin yang signifikan, sementara antisipasi terhadap langkah-langkah stimulus yang lebih kuat pada Sidang Pleno Ketiga mungkin menghadapi risiko kekecewaan," tambah Yeap, mengacu pada pertemuan petinggi negara itu di Beijing minggu ini.
Di Amerika, Chairman Fed, Jerome Powell, Senin, mengatakan tiga pembacaan inflasi AS selama kuartal kedua tahun ini "menambah keyakinan" bahwa laju kenaikan harga kembali ke target bank sentral secara berkelanjutan, yang ditafsirkan pelaku pasar sebagai indikasi peralihan ke pemotongan suku bunga mungkin tidak akan lama lagi.
Suku bunga yang lebih rendah menurunkan biaya pinjaman, sehingga dapat meningkatkan aktivitas ekonomi dan permintaan minyak.
Beberapa analis memperingatkan mengenai sikap yang terlalu bullish karena ekspektasi pelemahan beberapa data makroekonomi Amerika masih dapat memukul permintaan minyak dalam jangka pendek.
"Faktor makro tidak mendukung kenaikan harga minyak dalam jangka pendek (dibatasi di bawah USD85/barel untuk WTI) karena prospek penjualan ritel AS periode Juni yang lebih lemah, yang akan dirilis hari ini," kata analis OANDA, Kelvin Wong. (ef)

Sumber : Admin